MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN DERMATITIS ATOPIK

KONSEP TEORITIS PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK

DISUSUN OLEH : NOVA DWI A, ZEPLEN CHITRA, IRWAN AFRIANDI
STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU

1.    Definisi
Dermatitis atopik merupakan kelainan hipersensitivitas segera (immediate hypersensitivity) tipe 1 (Keperawatan Medical-Bedah Volume 3, 2001:1775).
Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan karena faktor alergen dengan ditandai adanya erupsi pada kulit makulo papuler dengan kemerahan, gatal, lesi, kulit kering, dan adanya eksudasi (Pengantar Ilmu Keperawatan Anak,2006: hal.137).
Dermatitis atopik adalah dermatosis dengan gambaran klinis seperti eczema, dengan perasaan gatal yang sangat mengganggu penderita dan disertai stigmata atopi pada penderita sendiri atau dalam keluarganya (Ilmu Kesehatan Anak 1, 1985:hal. 234)
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. (Suria Djuanda dan Sri Adi Sularsito, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 3,2002)
Istilah dermatitis atopik masih ada silang pendapat. Banyak istilah lain yang digunakan, misalnya : ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo besnier. Tetapi, hingga sekarang yang banyak diterima ialah dermatitis atopik.

2.    Etiologi
     Faktor Genetik, terdapat riwayat stigmata atopi berupa asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik, dan dermatitis atopic dalam keluarganya.
     Faktor Imunologik, pada penderita ditemukan peningkatan jumlah IgE dalam serum.
     Faktor Psikologik, seperti stress emosional dapat memperburuk dermatitis atopik.
     Faktor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik (makanan, inhalan, dan alergen lain, kelembaban rendah, keringat berlebih, penggunaan bahan iritasi).

3.    Patofisiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti. Gambaran klinis yang muncul diakibatkan oleh kerja sama berbagai faktor konstitusional dan faktor pencetus.
Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik dalam keluarganya. Keadaan atopi ini diturunkan, mungkin tidak di ekspresikan oleh gen tunggal, tetapi oleh banyak gen (polygenic). Pada penderita dermatitis atopik, ditemukan peningkatan jumlah IgE di dalam serum. Antigen akan ditangkap oleh fagosit kemudian akan dipresentasikan ke sel T2 Helper (Sel Th2) . Sel Th2 akan memproduksi Sitokin kemudian mengaktifkan seL-sel B untuk tumbuh dan berdiferensiasi sehingga menghasilkan Antibodi IgE. IgE menempel di sel mast, lalu melepaskan mediator kimia berupa Histamin. Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T sehingga terjadi peningkatan IgE yang akan menyebabkan pruritus (rasa gatal) pada penderita. Sel mast akan meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin karena garukan akibat gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat juga akan menurun pada 80% penderita dermatitis atopik, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) meningkat sehingga berakibat meningkatnya kerawanan (suseptibilitas) terhadap infeksi virus, bakteri dan jamur, lalu menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1)
Rasa gatal (pruritus) dan reaktivitas kulit yang kuat merupakan tanda penting pada dermatitis atopik. Pruritus dapat timbul karena faktor intrinsik kulit, yaitu ambang gatal yang rendah. Eksaserbasi pruritus timbul disebabkan oleh berbagai macam faktor pencetus yang akan memperburuk dermatitis atopik, antara lain :
•    Makanan, inhalan berbagai alergen lain (seperti debu, kapuk, bulu binatang, serbuk sari, karpet, boneka berbulu). Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap alergen tsb dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1
•    Kelembaban rendah sehingga menyebabkan kulit menjadi kering karena ada penurunan kapasitas pengikatan air, kehilangan air yang tinggi di transepidermal, dan penurunan isi air. Pada bagian kehilangan air mengalami kekeringan yang lebih lanjut dan peretakan dari kulit, menjadi lebih gatal.
•    Keringat berlebih, disebabkan lingkungan yang bersuhu panas/dingin dan kelembaban tinggi atau rendah, sinar matahari.
•    Penggunaan bahan iritan, seperti wol, sabun, deterjen, dll akan memicu terjadinya pruritus pada kulit.
Faktor psikologik juga berpengaruh pada dermatitis atopik. Factor psikologik ini juga merupakan factor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik. Misalnya saja seseorang yang stress emosional, dapat menimbulkan respons gatal sehingga menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Karena stress, tubuh penderita akan terpajan oleh alergen yang sama. Kemudian timbul sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1, sehingga terjadi peningkatan IgE dalam jumlah yang lebih besar. Maka dari itulah akan timbul infeksi sekunder yang dapat memperburuk dermatitis atopik.

4.    Manifestasi Klinis
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.

     Bentuk infantil (2 bulan-2 tahun).
Masa awitan paling sering pada usia 2-6 bulan. Lesi mulai di muka (pipi, dahi) dan scalp, tetapi dapat pula mengenai tempat lain (badan, leher, lengan dan tungkai). Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Lesi beruoa eritema dan papulovesikel miliar yang sangat gatal; karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, dan eksudasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Garukan dimulai setelah usia 2 bulan. Rasa gatal ini sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur dan menangis. Lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan, mulai tampak likenifikasi di bagian fleksor. Pada usia 2 tahun sebagian besar penderita sembuh, sebagian berlanjut menjadi bentuk anak.

     Bentuk anak (3-11 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas; karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Tempat prediliksi di lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan, dan kaki; jarang mengenai muka. Tangan mungkin kering, likenifikasi atau eksudasi; bibir dan perioral dapat pula terkena; kadang juga pada paha belakang dan bokong. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan, yaitu lipatan kulit di bawah kelopak mata bawah.

     Bentuk remaja dan dewasa (12-30 tahun)
Tempat prediliksi di muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher, dada bagian atas, lipat siku, lipat lutut, punggung tangan; biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus; kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya dermatitis atopik bentuk remaja dan dewasa berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai tua. Dapat pula ditemukan kelainan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, scalp. 

Selain itu manifestasi lain berupa kulit penderita tampak kering dan sukar berkeringat. Ambang rangsang gatal rendah, sehingga penderita mudah gatal, apalagi bila berkeringat.

6.    Penatalaksanaan
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering dan sangat peka terhadap berbagai rangsangan. Penderita merasa sangat gatal, sehingga terpaksa menggaruk. Perjalanan dermatitis berlangsung kronis dan cenderung berulang (kambuh). Banyak faktor yang menyebabkan kambuhnya penyakit ini, misalnya infeksi kulit, iritasi, berkeringat atau kedinginan, stress, endokrin (contoh: kehamilan, penyakit tiroid, haid). Oleh karena itu, penatalaksanaannya pada dasarnya berupaya menghindari atau menyingkirkan faktor-faktor tersebut.
Kulit yang sehat boleh disabun dengan sabun khusus untuk kulit kering, tetapi jangan terlalu sering agar lipid di kulit tidak banyak berkurang sehingga kulit tidak semakin kering. Kulit diolesi dengan krim emolien, maksudnya membuat kulit tidak kaku dan tidak terlalu kering. Pakaian jangan yang terbuat dari wol atau nilon karena dapat merangsang, pakailah katun karena selain tidak merangsang juga dapat menyerap keringat. Keringat akan menambah rasa gatal, oleh karena itu pakaian jangan ketat; ventilasi yang baik akan mengurangi keringat.
Hindarkan dari perubahan suhu dan kelembaban mendadak. Sebaiknya mandi dengan air yang suhunya sama dengan suhu tubuh, karena air panas maupun air dingin menambah rasa gatal.
Upayakan tidak terjadi kontak dengan debu rumah dan bulu binatang karena dapat menyebabkan rasa gatal bertambah dan menyebabkan penyakit kambuh.
Makanan dapat mempengaruhi terjadinya kekambuhan atau menambah rasa gatal. Sebagian kecil para penderita alergi terhadap makanan, yang sering ialah susu sapi, terigu, telur, dan kacang-kacangan. Dengan meningkatnya usia, kemungkinan mendapat alergi tersebut semakin berkurang.
Stress emosional akan memudahkan penyakitnya kambuh, oleh karena itu hendaknya dihindari atau dikurangi.
Imunitas selular penderita dermatitis atopik menurun, sehingga mudah mengalami infeksi oleh virus, bakteri dan jamur. Bila mendapat infeksi virus, misalnya vaksinia atau herpes simpleks, akan menimbulkan gejala akut berupa timbulnya banyak vesikel dan pustule yang akan menyebar, disertai demam yang tinggi, dan dapat menyebabkan kematian; disebut erupsi variseloformis atopik Kaposi. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik tidak boleh berdekatan dengan pendekatan varisela, herpes zoster, atau herpes simpleks.
Kuku dipotong pendek agar bila menggaruk tidak sampai timbul luka, sehingga tidak mudah terjadi infeksi sekunder.

7.    Komplikasi
     Pada anak penderita Dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita Dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
     Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
     Penderita Dermatitis atopik, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.

8.    Pemeriksaan Diagnostik
     Darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE
     Dermatografisme putih. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respons , yakni berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, dan edema timbul sesuah beberapa menit. Penggoresan pada pasien atopik akan bereaksi berlainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2-5 menit, edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
     Percobaan asetilkolin. Suntikan secara intrakutan 1/5000 akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopik akan timbul vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.

     Percobaan histamin. Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritema akan berkurang dibandingkan dengan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit yang normal.

Selain itu, HANIFIN dan LOBITZ (1977) menentukan kriteria diagnosis dermatitis atopik secara rinci sebagai berikut :
     Harus terdapat :
•    Pruritus
•    Morfologi dan distribusi yang khas: likenifikasi fleksural pada orang dewasa, gambaran dermatitis di pipi dan ekstensor pada bayi.
•    Kecenderungan menjadi kronis atau kambuh.
     Ditambah 2 atau lebih tanda lain :
•    Adanya penyakit atopic (asma bronchial, rinitis alergik, dermatitis atopik) pada penderita atau anggota keluarganya.
•    Tes kulit tipe cepat yang reaktif
•    Dermografisme putih atau timbul kepucatan pada tes dengan zat kolinergic
•    Katarak subkapsular anterior.
     Ditambah 4 atau lebih butir berikut ini :
•    Xerosis/ iktiosis/ hiperlinear Palmaris
•    Pitiriasis alba
•    Keratosis pilaris
•    Kepucatan fasial/ warna gelap infra orbital
•    Tanda dennie morgan
•    Peningkatan kadar IgE
•    Keratokunosus
•    Kecenderungan mendapatkan dermatitis nonspesifik di tangan
•    Kecenderungan infeksi kulit yang berulang.


4.    Kemungkinan diagnosa keperawatan
     Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit.
     Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen
     Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus.

1.    Kesimpulan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik.
Penyebabnya ialah ditemukan Riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis alergik, dermatitis atopic dalam keluarganya, peningkatan jumlah IgE dalam serum, penurunan Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibat meningkatnya kerawanan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai alergen, kelembaban rendah, keringat berlebihan, dan bahan iritan, faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.
Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopik (dalam keluarga maupun sendiri).

2.    Saran
     Diharapkan kepada  mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang penyakit dermatitis atopic dan pencegahannya.
     Dalam bidang keperawatan, mempelajari suatu penyakit itu penting, dan diharapkan kepada mahasiswa mampu membuat konsep teoritis suatu penyakit tersebut beserta asuhan keperawatannya.


Read more »»  

ASKEP KLIEN PADA KEGANASAN SISTEM INTEGUMEN SINDROM STEVEN JOHNSON

KONSEP TEORITIS

oleh : MA'ARIFATUN, WETA OKTARENA, ASTRIEN MELINDA

2.1. Definisi
Stevens-johnson syndrome adalah suatu kondisi mengancan jiwa yang Mempengaruhi kulit, dimana kematian sel memyebabkan epidermis terpisah dari dermis.sindrom ini diperkirakan karena reaksi hipersensivitas yang mempengarihu kulit dan membrane mukosa.Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik.
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, lendir di oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura.

2.2. Etiologi
Sindrom stevens Johnson dapat di sebabkan oleh karena :
1.    Infeksi (Biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus Herves simpleks,influenza,histoplasmosis, virus epstein-barr atau Sejenisnya ).
2.    Efek samping dari obat-obatan (alloporinol, diklopenak, floconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, sulponamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, neviravin, ibupropen,dll ).
3.    Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4.    Faktor idiofatik
     
2.3.  Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III ( reaksi komplek imun ) terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil yang kemudian melepaskan lysozim dan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV ( reaksi hipersensifitas lambat ) terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
2.5. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
•    Kelainan kulit
•    Kelainan selaput lendir di orifisium
•    Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
2.6.  Pemeriksaan Penunjang
•    Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
•    Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
•    Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.7. Penatalaksanaan
Pada  sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit  pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.


2.8  Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.

2.2. KONSEP DASAR ASKEP
A.    Pengkajian
1.    Identitas klien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi identitasnya,yang meliputi:nama,jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2.    Keluhan utama
sering menjadi alasan untuk meminta pertolongan kesehetan,di ikuti oleh mereka mengalami rasa gatal dan timbul benjolan yang berisi cairan
3.    Riwayat kesehatan sekarang(RKS)
               Demam tinggi,nyeri kepala,batuk,pilek,nyeri tnggorokan/sulit
               Menelan.      
4.    Riwayat kesehatan dahulu(RKD)
 Pernah di rawat di rumah sakit dengan keluhan utama
5.    Riwayat kesehatan keluarga(RKK)
    tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
6.Data dasar pengkajian pasien
   a.Aktivitas/istirahat
      Tanda              :penurunan keluarga,tahanan keterbatasan
                              Rentang gerak pada yang sakit.
   b.Sirkulasi
      Tanda              :pembentukan edema jaringan
   c.Eliminasi
      Tanda              :mengidentifikasikan kerusakan otot 
                              Dalam,diuresis,penurunan bising usus/tak ada.
   d.Integritas Ego
      Gejala              :Masalah tentang keluarga,pekerjaan,keuangan,
                               Kecacatan.
      Tanda              :Ansietas,menangis,ketergantungan,menyangkal,
                              Menarik diri,marah.
   e.Pernapasan
      Tanda              :ketidakmampuan menalan sekresi oral dan                                
                              Sianosis,indikasi cedera inhalasi.
   f.Makanan/cairan
      Tanda              :edema jaringan umum,anoreksia,mual/muntah
   g.Neurosensori 
      Tanda              :perubahan oriental,efek,perilaku,laserasi korneal,
                              Kerusakan,retinal,penurunan ketajaman
                              Penglihatan,ruptur membran timpani,paralisis.
   h.Keamanan
      Tanda             :kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur
                             Seperti kulit samak halus;lepuh,ulkus,nekrosis,
                             Atau jaringan parut tebal.
   i.Penyuluhan/pembelajaran
     Pertimbangan    :DRG menunjukan rerata lama di rawat: 
                              Tergantung pada beratnya dan terlibatnya sistem
                              organ.
     Rencana pemulangan :memerlukan bantuan untuk pengobatan,
                                      Aktifitas perawatan diri,tugas pemeliharaan
                                      Rumah,transportasi,keuangan,konsul,
                                      kejuruan,perubahan susuna rumah atau
                                      fasilitas tempat tinggal selain itu rehabilitas
                                      lama
   j.Pemeriksaan diagnostik
     Hitung darah lengkap :Ht awal menunjukan hemokosentrasi      
                                      sehubungan dengan perpidahan/kehilangan
                                      cairan
    SDP                           :liukositosis dapat terjadi sehubungan dengn
                                      Kehilangan sel pada sisi luka dan respon
                                      Inflamasi terhadap cidera.
    GDA        : Dasar penting untuk kecurigaan cedera    
                                     Inhalasi
    Alkalin fosfat    : Peningkatan sehubungan dengan
                                     perpindahan cairan intersitial/gangguan
                                     pompa natrium
BUN / Kreatinin    :Peninggian menunjukkan penurunan
                                    perfusi/fungsi ginjal, namun kreatinin dapat
                                    meningkat karena cedera jaringan                               
                      
B. Diagnosa Keperawatan yang muncul
1.    Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan b.d adanya bula
2.    Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan
3.    Gangguan integritas kulit b.d bula yang mudah pecah
4.    Gangguan sensori penglihatan b.d erosi dan perforasi kornea
5.    Peningkatan suhu tubuh b.d kompensasi radang
6.    Gangguan harga diri rendah b.d terjadinya erosi yg luas dan purpura


Read more »»  

ASKEP KLIEN PADA ALERGI SISTEM IMUNOLOGI LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)

KONSEP TEORITIS PENYAKIT SLE
disusun oleh : ASTRIEN MELINDA
ILMU KEPERAWATAN-STIKES TRI MANDIRI SAKTI

2.1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum diketahui, Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti paktor genetic,inpeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES (Lupus eritmatosus sistemik).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkananti bodi secara terus menerus. Anti bodi ini juga berperan dalam komplek imun sehingga mencetuskan penyakit implamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
Mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas selbe.hal ini dapat terjadi sekunder
Terhadap beberapa factor :
1.    Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2.    Hiperaktivitas sel T helper
3.    Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
    Infeksi
    Antibiotik
    Sinar ultraviolet
    Stres yang berlebihan
    Obat-obatan yang tertentu
    Hormon

Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan

3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pda SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat funsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
    Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
    Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat  sering ditemui pada SLE.
    Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
    Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
    Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina
    Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
    Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
    Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
    Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
5. WOC
(Ada di file tersendiri)

6. Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan enersi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. pengobatannya
    Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
    Serositis lupus (plueritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
    Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
    Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
    Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

    Lupus nefritis
Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
    Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
    Pneumonitis intersititialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
    Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena

7. Komplikasi
Komplikasi LES meliputi :
    Hipertensi (41%)
    Gangguan pertumbuhan (38%)
    Gangguan paru-paru kronik (31%)
    Abnormalitas mata (31%)
    Kerusakan ginjal permanen (25%)
    Gejala neuropsikiatri (22%)
    Kerusakan muskuloskeleta (9%)
    Gangguan fungsi gonad (3%)

8. Pemeriksaaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2. Kelainan Imunologis
Ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.

b. Histopatologi
•    Umum :
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
•    Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
•    Kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (70%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.

kemungkinan Diagnosa Keperawatan
1.    resiko pada pergerakan berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik
2.    hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3.    dermatitis berhubungah dengan kerusakan integritas kulit
4.    nyeri BAK berhubungan dengan gangguan eliminasi
5.    sesak disertai batuk berhubungan dengan bersihan jalan nafas
6.    kekacauan mental berhubungan dengan perubahan proses fikir
7.    resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran
8.    gangguan aliran darah berhubungan dengan penurunan curah jantung
9.    gangguan pengelihatan berhubungan dengan infeksi konjungtiva



Read more »»  

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASY (bph)

 DISUSUN OLEH : ASTRIEN MELINDA- ILMU KEPERAWATAN STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU 
TINJAUAN TEORITIS

2.1    Pengertian
Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, meliputi antara lain: jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
Trans Urethral Resection of the Prostat (TUR-P) adalah pengangkatan jaringan prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra dengan menggunakan sistoskopi/resektoskop yang dimasukkan melalui uretra. Indikasi TUR-P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR-P jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremi TUR-P, atau retensi oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd (50-90 % ) atau impotensi (4-40%) .
Sindroma TUR-P ditandai dengan klien mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan dapat terjadi bradikardi. Jika tidak segera diatasi, klien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal.
Setelah TUR-P, dipasang kateter ( no 24 Fr ) foley tiga saluran yang dilengkapi balon 30 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Boleh dibuat traksi pada kateter foley untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan perdarahan. Fungsi kateter yang lain adalah untuk irigasi. Dengan irigasi yang konstan dapat membebaskan kandung kemih dari bekuan darah yang dapat menyumbat aliran urine. Irigasi kandung kemih dihentikan setelah 2 jam bila tidak keluar lagi bekuan darah dari kandung kemih. Kateter biasanya diangkat 3-5 hari setelah operasi.
Penyulit yang terjadi pada TUR-P dibagi menjadi beberapa tahap, sebagai berikut: 1 ) selama operasi: perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi; 2 ) pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik, retensio urine, inkontinensia urine; 3) Pasca bedah lanjut : inkontinensia , disfungsi ereksi , ejakulasi retrograd, striktur uretra, stenosa leher buli-buli, osteitis pubis, prostat kambuh.
2.2    Anatomi  fisiologi

Buli-buli
Buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot destrusor yang saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot sirkuler, ditengah merupakan otot longitudinal, dan paling luar merupakan otot sirkuler. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel transisional. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli.
Secara anatomi bentuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan, yaitu: permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferior lateral, dan permukaan posterior. Pemukaan superior adalah merupakan lobus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli.
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak –anak  menurut formula Koff adalah :
Kapasitas buli-buli = {umur (tahun ) + 2 } x 30 ml
Pada saat kosong buli-buli terletak dibelakang simpisis pubis dan pada saat penuh berada diatas simpisis sehingga dapat dipalpasi dan di perkusi.
Buli-buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pad syaraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot destruso, terbukanya leher buli-buli dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa  23-25 cm.
Secara anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh  spingter uretra eksternal.
Uretra posterior pada pria  terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.

Kelenjar prostat
Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskular. Kelenjar ini mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena pengaruh dari horman androgen yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan derivat dari jaringan embrional sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti konnus terbalik yang terjepit ( kemiri ).
Letak kelenjar prostat disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan membungkus uretra posterior. Ukuran rata-rata prostat pada pria  dewasa 4 x 3 x 2,5 cm dan  beratnya kurang lebih 20 gram.
Pada tahun 1972  Mc. NEAL, mengemukakan konsep tantang zona anatomi dari prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari prostat sebagian besar terletak/membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral yang terkecil merupakan 95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain (5%) membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi ini.  Sebagian besar proses keganasan (60-70 % ) bermula di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentral.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan 25 % dari volume ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

2.3    Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: 
a.    Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
b.    Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c.    Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
d.    Teori sel stem menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
2.4    Patofisiologi 
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan baru kandung kemih.
Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium. dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekro urin dan beban solute lainnya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia. Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balik yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
-    Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
-    Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
-    Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam  buli-buli.
-    Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
-    Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
-    Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
-    Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.








DISUSUN OLEH : ASTRIEN MELINDA- ILMU KEPERAWATAN STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU 



2.6    Manifestasi Klinis
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptom ( LUTS ), dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi ( frekuensi ), terbangun untuk miksi pada malam hari ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi ( disuria ). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias atau puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama ( hesitancy ), harus mengedan ( training ), kencing terputus-putus ( intermittency ), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan inkontinen karena overflow.
Gejala lain diluar saluran kemih, yaitu tidak jarang klien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan dari tekanan intraobdominal.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli/orgnisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ).
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
-  Ringan     : skor 0-7
-  Sedang    : skor 8-19
-  Berat        : skor 20-35
Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urine , seperti bagan dibawah :
Derajat    Colok dubur    Sisa vol. Urine
     I     Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba    < 50 ml
     II    Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat     dicapai    50-100 ml
    III    Batas atas prostat tidak bisa diraba    > 100 ml
    IV        Retensi urine total

Gejala dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, dapat ditemukan  uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, peri karditis, ujung kaki yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA ( Costa Vertebrae Angularis ).



2.7    Pemeriksaan Diagnostik

1.    a.  Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik ( buli-buli penuh / kosong )
b.    Palpasi  buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa yang kontraktil dan “Ballottement”.
c.    Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2 . Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris  adakah nodul pada prostat , apa batas atas dapat diraba .
Dengan colok dubur besarnya prostat dibedakan :
-    Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
-    Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
-    Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
3.    Laboratorium.
-    Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum  penderita .
-    Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli nerogen).
-    Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas .
-    Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi atau inflamasi pada saluran kemih .
-    Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
4.    Flowmetri :
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak <10ml/detik --------obstruktif
Fmak 10-15 ml/detik-----borderline
Fmak  >15 ml/detik-------nonobstruktif
5.    Radiologi.
-    Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
-    Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berkelok kelok di vesikula ) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect divesikula.
-    Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat < pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli, meng ukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
-    Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam uretra.
6.    Kateterisasi: Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan dengan cara kateterisasi . Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat .

2. 8 Komplikasi
a.       Perdarahan
b.      Inkotinensia
c.       Batu kandung kemih
d.      Retensi urine
e.       Impotensi
f.       Epididimitis
g.      Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
h.      Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
i.        Hydronefrosis
j.        Hydroureter
k.      Gagal ginjal
l.        Sistitis dan prenofritis


2.9 Dampak Masalah
Pada klien BPH dengan TUR-P akan timbul beberapa masalah, dengan gejala yang telah diuraikan pada sub bab patofisiologi . Masalah ini  dapat berdam pak pada pola pola fungsi kesehatan klien.Dimana klien sebagai mahluk  bio, psiko, sosial, spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di bagi menjadi 2 yaitu dampak masalah pre operasi dan post operasi TUR-P.
Dampak  masalah pre oprasi TUR-P adalah :
1.    Pola eleminasi .
Tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan BPH akibat pembesaran prostat yang berdampak pada penyumbatan parsial atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian bawah. Keluhan klien antaralain adalah nokturia, frekuensi,  hesistency, disuria, inkontinensia dan rasa tidak lampias sehabis miksi .  Dapat pula muncul hernia inguinalis dan hemoroid .
2.    Pola persepsi dan konsepsi diri.
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Ketidak pastian tentang prosedur pembedahan,  nyeri setelah operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa cemas. Klien juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah operasi.
3.    Pola tidur dan istirahat.
Tanda dan gejala BPH antaralain  nokturi dan frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien akan sering terbangun pada malam hari  untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
Dampak masalah  post operasi  TUR-P adalah:
1.    Pola eliminasi
Klien post operasi TUR-P dapat mengalami perubahan eliminasi. Hal ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang menyumbat kateter, edema dan prosedur pembedahan .  Perdarahan dapat terjadi pada klien post operasi TUR-P karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena pemasangan kateter yang kurang tepat atauperawatan kateter kurangatau tidak aseptik dapat juga terjadi.
2.   Pola tidur dan istirahat
 Pada klien post TUR-P dapat mengalami  gangguan tidur karena klien merasakan  nyeri pada lika operasi atau spasme dari kandung kemih. Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3    .   Pola aktifitas.
Klien post TUR-P aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa. Klien cenderung mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat dari TUR-P nya. Klien akan banyak memilih di tempat tidur dari pada beraktifitas pada hari  pertama dan hari yang kedua post TUR-P Sedangkan kebutuhan klien dibantu.
4    Pola reproduksi dan seksual.
Klien post TUR-P dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena situasi krisis  ( inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status kesehatan.
5.    Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang  perawatan selanjutnya khususnya saat dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.

2.10 Konsep Dasar Asuhan  Keperawatan
Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Dengan proses keperawatan, perawat memakai latar belakang, pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji ststus kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan intervensi, mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan.
1.    PENGKAJIAN
2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir dari pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang merupakan penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian keoerawatan. Dari analisa data diatas  dapat dirumuskan  suatu diagnosis keperawatan yang dibagi  menjadi 2, yaitu diagnosa sebelum operasi dan diagnosa setelah operasi.
1.    Diagnosa sebelum operasi
a.    Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi berhubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
b.    Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran prostat.
c.    Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi. 
d.    Gangguan tidur dan istirahat berhubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi  disuria, frekuensi, nokturia.

2.    Diagnosa setelah operasi
a.    Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
b.    Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TUR-P: bekuan darah odema
c.    Potensial infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
d.    Potensial untuk menderita cedera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
e.    Potensial disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P
f.    Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi.
g.    Gangguan tidur dan istirahat berhubungan dengan nyeri.
Read more »»  

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN PERITONITIS

disusun oleh : ASTRIEN MELINDA - S1 ILMU KEPERAWATAN STIKES TRI MANDIRI SAKTI
TINJAUAN TEORI

A.    PENGERTIAN
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.

B.    ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.





C.    ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung).
Area sumber    Penyebab
Esofagus    Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung    Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum    Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier    Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas    Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens    Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma

Kolon desendens dan apendiks    Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium    Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

Peritonitis biasanya disebabkan oleh :
1.    Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
2.    Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
3.    Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis  kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
4.    Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan  mengalami infeksi
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
6.    Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan
dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
7.    Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.
8. Iritasi tanpa infeksi.
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

D.    PATOFISIOLOGI
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.
 Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen-kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.
 Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya  pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).

E.    KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.


b.Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c. Peritonitis tersier, misalnya:
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d.Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

Peritonitis fibrinosa Pleuritis fibrosa

Peritonitis fibrinosa. Ternero. Onfaloflebitis.


Peritonitis purulenta. Perforación de divertículo yeyunal



F.    MANIFESTASI KLINIS
o    Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberapa penderita peritonitis umum
o    Demam
o    Distensi abdomen
o    Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis
o    Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya
o    Nausea
o    Vomiting
o    Penurunan peristaltik.

G.    PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
a.Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.

b.Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
c.Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.

Meconium peritonitis - “ Abdominal x-ray and CT scan

H.    KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a.Komplikasi dini
-    Septikemia dan syok septic
-    Syok hipovolemik
-    Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system
-    Abses residual intraperitoneal
-    Portal Pyemia (misal abses hepar)
b.Komplikasi lanjut
-    Adhesi
-    Obstruksi intestinal rekuren

I.    PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan radang di peritoneum. Secara noninvasif dapat dilakukan drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum. Rongga ini merupakan membran serosa yang kompleks dan terbesar di tubuh manusia. Bentuknya menyerupai kantong yang meliputi organ-organ dalam perut sehingga membentuk peritoneum parietal di dinding perut anterior dan lateral, diafragma, serta membentuk peritoneum viseral di organ-organ dalam perut dan pelvis bagian inferior sehingga membentuk rongga potensial di antara dua lapisan tersebut, dikenal sebagai rongga peritoneal.
Rongga inilah yang menjadi translokasi bakteri dan tempat terjadinya peritonitis ataupun abses. Untuk menanganinya, sebenarnya bisa dilakukan terapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolik, dan terapi modulasi respon peradangan. Terapi-terapi ini sebenarnya logis dikerjakan, namun perkembangannya tidak terlalu signifikan, apalagi untuk kasus dengan banyak komplikasi, sehingga dibutuhkan terapi lain berupa drainase atau pembedahan.
Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-scan dan USG merupakan pilihan tindakan nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak terlalu invasif, namun terapi ini lebih bersifat komplementer, bukan kompetitif dibanding laparoskopi, karena seringkali letak luka atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya tidak optimal. Sebaliknya, pembedahan memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian dilakukan eliminasi kuman dan inokulum peradangan tersebut, hingga rongga perut benar-benar bersih dari kuman.
Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit. Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat. Namun secara medis, penderita yang mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa pneumonia akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status narkose penderita pascaoperasi. Dengan demikian, edukasi untuk menghindari keadaan atau penyakit yang dapat menyebabkan peritonitis mutlak dilakukan, mengingat prosedur diagnostik dan terapinya relatif tidak mudah dikerjakan.

J.    PROSES KEPERAWATAN
I.    Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan, secara keseluruhan pada tahap ini semua data dan informasi pasien dibutuhkan, dikumpulkan untuk pembentukan masalah kesehatan dan keperawatan.
a.    Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah pengumpulan informasi tentang klien yang dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah-masalah serta kebutuhan keperawatan dan keselamatan klien. Sumber data diperoleh dari klien, keluarga dan catatan atau dokumentasi medic dan perawat. Kegiatan pengumpulan data dimulai pada sat klien masuk rumah sakit dan dilanjutkan secara terus menerus selama keperawatan data pada klien dengan gangguan kebutuhan istirahat dan meliputi :
1.    Biodata klien
    Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnose medis, alamat, nomor medrek dan alamat.
    Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, suku bangsa, alamat dan hubungan dengan klien.
2.    Riwayat kesehatan
    Riwayat kesehatan sekarang
a.    Keluhan utama masuk rumah sakit
Yaitu keluhan klien saat pertama klien masuk rumah sakit.
b.    Keluhan utama saat dikaji
Tanyakan keluhan klien saat pengkajian yang dikembangkan dengan menggunakan PQRST.
    Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah yang dahulu yang berhubungan dengan pencernaan, misalnya apendiksitis, trauma andomen, ulkus peptikum dan lain-lain.
    Riwayat kesehatan keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga klien terdapat penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena lingkungan kurang sehat yang  berdampak negative pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.
3.    Data biologis
    Aktivitas /istirahat
Gejala: Kelemahan
Tanda : Kesulitan ambulasi
    Sirkulasi
Tanda : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok)
            Edema jaringan.
    Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus.
           Diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan; distensi abdomen; abdomen diam.
           Penurunan haluaran urine, warna gelap.
Penurunan/tak ada bising usus (ileus); bunyi keras hilang timbul, bising usus kasar (obstruksi); kekakuan abdomen, nyeri tekan. Hiperesonan/timpani (ileus); hilang suara pekak diatas hati (udara bebas dalam abdomen).
    Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah; haus.
Tanda : Muntah proyektil.
            Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
    Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokak, menyebar ke bahu, terus menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan.
Otot tegang (abdomen); lutut fleksi, prilaku distraksi; gelisah; fokus pada diri sindiri.
    Pernapasan
Tanda : Pernapasan dangkal, takipnea.
    Keamanan
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis); infeksi pasca melahirkan, abses retroperitonial.
    Penyuluhan
Gejala : Riwayat adanya trauma penetrasi abdomen, contohnya luka tembak/tusuk atau trauma tumpul pada abdomen; perforasi kandung kemih/ruptur; penyakit saluran GI contoh apendisitis dengan perforasi, gangren/ruptur kandung empedu, perforasi karsinoma gaster, perforasi gaster/ulkus duodenal, obtrusi gangrenosa usus, divertikulum, ileitis regional, hernia strangulasi.
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama di rawat : 5,1 hari.
Rencana pemulangan : bantuan dalam tugas/pemeliharaan rumah.

4.    Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
5.    Data psikososial
Pengkajian mengenai konsep diri (gambaran diri, idea diri, harga diri, peran diri, identitas diri) dan hubungan klien keluarga dan lingkungan dimana klien berada. Pada klien disritmia, ada perubahan dalam status emosional, perubahan tingkah laku dan pola koping yang tidak efektif.
6.    Data spiritual
Perlu dikaji agama, keyakinan dan harapan yang merupakan aspek penting untuk penyembuhan penyakitnya.
7.    Data penunjang
Pemeriksaan diagnostic
Read more »»  

ASUHAN KEPERAWATAN KANKER KOLOREKTAL

 DISUSUN OLEH :ASTRIEN MELINDA- WETA OKTA RENA (S1 ILMU KEPERAWATAN STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU)

TINJAUAN TEORITIS
A.    Defenisi

ASUHAN KEPERAWATAN KANKER KOLOREKTAL
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi, sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi.
Kanker colon adalah suatu kanker yang yang berada di colon. Kanker colon adalah penyebab kedua kematian di Amerika Serikat setelah kanker paru-paru (ACS 1998)
Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan karena penyakit ini sering tidak diketahui sampai tingkat yang lebih parah. Pembedahan adalah satu-satunya cara untuk mengubah kanker Colon.

B.    Etiologi
Penyebab dari pada kanker Colon tidak diketahui. Diet dan pengurangan waktu peredaran pada usus besar (aliran depan feces) yang meliputi faktor kausatif. Petunjuk pencegahan yang tepat dianjurkan oleh Amerika Cancer Society (The National Cancer Institute), dan organisasi kanker lainnya. Makanan-makanan yang pasti di curigai mengandung zat-zat kimia yang menyebabkan kanker pada usus besar. Makanan tersebut juga mengurangi waktu peredaran pada perut, yang mempercepat usus besar menyebabkan terjadinya kanker. Makanan yang tinggi lemak terutama lemak hewan dari daging merah,menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob, menyebabkan timbulnya kanker didalam usus besar. Daging yang di goreng dan di panggang juga dapat berisi zat-zat kimia yang menyebabkan kanker. Diet dengan karbohidrat murni yang mengandung serat dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi waktu peredaran dalam usus besar. Beberapa kelompok menyarankan diet yang mengadung sedikit lemak hewan dan tinggi sayuran dan buah-buahan (e.g Mormons, seventh Day Adventists).
Makanan yang harus dihindari :
•    Daging merah
•    Lemak hewan
•    Makanan berlemak
•    Daging dan ikan goreng atau panggang
•    Karbohidrat yang disaring (example:sari yang disaring)
Makanan yang harus dikonsumsi:
•    Buah-buahan dan sayur-sayuran khususnya Craciferous Vegetables dari golongan kubis (seperti brokoli,brussels sprouts)
•    Butir padi yang utuh
•    Cairan yang cukup terutama air
Karena sebagian besar tumor Colon menghasilkan adenoma, faktor utama yang membahayakan terhadap kanker Colon menyebabkan adenoma. Ada tiga type adenoma Colon : Tubular, Villous dan Tubulo Villous. Meskipun hampir sebagian besar kanker Colon berasal dari adenoma, hanya 5% dari semua Adenoma Colon menjadi manigna, Villous Adenoma mempunyai potensial tinggi untuk menjadi manigna. Faktor yang menyebabkan adanya adenoma benigna atau manigna tumor tidak diketahui, poliposis yang bergerombol bersifat herediter yang tersebar pada gen autosom dominan. Ini di karakteristikkan pada permulaan adematus polip pada colon dan rektum. Resiko dari kanker pada tempat femiliar poliposis mendekati 100 % dari orang yang berusia 20 – 30 tahun.
Orang-orang yang telah mempunyai Ulcerative Colitis atau penyakit Crohn’s juga mempunyai resiko terhadap kanker Colon. Penambahan resiko pada permulaan usia muda dan tingkat yang lebih tinggi terhadap keterlibatan colon. Resiko dari kanker Colon akan menjadi 2/3 kali lebih besar jika anggota keluarga menderita penyakit tersebut.






   
C.    Tanda dan Gejala
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).

D.    Patofisiologi
Perubahan Patologi Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon mengikuti kira-kira pada bagian ( Sthrock 1991 a ) :
•    `26 % pada caecum dan ascending colon
•    10 % pada transfersum colon
•    15 % pada desending colon
•    20 % pada sigmoid colon
•    30 % pada rectum
Karsinoma Colon sebagian besar menghasilkan adenomatus polip. Biasanya tumor ini tumbuh tidak terditeksi sampai gejala-gejala muncul secara berlahan dan tampak membahayakan.Penyakit ini menyebar dalam beberapa metode.Tumor mungkin menyebar dalam tempat tertentu pada lapisan dalam di perut,mencapai serosa dan mesenteric fat. Kemudian tumor mulai melekat pada organ yang ada disekitarnya,
kemudian meluas kedalam lumen pada usus besar atau menyebar ke limpa atau pada sistem sirkulasi. Sistem sirkulasi ini langsung masuk dari tumor utama melewati pembuluh darah pada usus besar melalui limpa,setelah sel tumor masuk pada sistem sirkulasi,biasanya sel bergerak menuju liver. Tempat yang kedua adalah tempat yang jauh kemudian metastase ke paru-paru. Tempat metastase yang lain termasuk :
•    Kelenjar Adrenalin
•    Ginjal
•    Kulit
•    Tulang
•    Otak
Penambahan untuk infeksi secara langsung dan menyebar melalui limpa dan sistem sirkulasi,tumor colon juga dapat menyebar pada bagian peritonial sebelum pembedahan tumor belum dilakukan. Penyebaran terjadi ketika tumor dihilangkan dan sel kanker dari tumor pecah menuju ke rongga peritonia

E.    Komplikasi
Komplikasi terjadi sehubungan dengan bertambahnya pertumbuhan pada lokasi tumor atau melelui penyebaran metastase yang termasuk :
•    Perforasi usus besar yang disebabkan peritonitis
•    Pembentukan abses
•    Pembentukan fistula pada urinary bladder atau vagina
Biasanya tumor menyerang pembuluh darah dan sekitarnya yang menyebabkan pendarahan.Tumor tumbuh kedalam usus besar dan secara berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akirnya tidak bisa sama sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ yang berada disekitanya ( Uterus, urinary bladder,dan ureter ) dan penyebab gejala-gejala tersebut tertutupi oleh kanker.

F.    Klasifikasi
Tumor pada kolon dan rektum (kolorektal) atau usus besar ada dua macam, yaitu tumor jinak (benigna) dan tumor ganas (maligna).
Tumor jinak dibagi atas :
•    Tumor Epitelial, terdiri atas: Adenoma dan Adenomatosis
•    Tumor Nonepitelial, terdiri atas: Leomioma, Hemangioma, dan Lipoma
Tumor ganas terdiri atas :
•    Karsinoma
•    Sarkoma
Untuk menemukan tumor jinak ini, harus dilakukan pemeriksaan radiologis dan endoskopis yang meliputi pemeriksaan sigmoidaskopi dan kolonoskopi. Pengobatan tumor jinak biasanya dilakukan dengan cara operasi. Sebagian besar penderita tumor jinak biasanya tidak mempunyai keluhan, kecuali jika telah ada komplikasi tidak menyebabkan diare. Apabila letak tumor ada dibagian kolon paling bawah, biasanya menimbulkan perdarahan. Keluhan lain, yang jarang terjadi, yaitu diare berlendir yang kadang-kadang disertai dengan nyeri perut.
Kanker rektum atau kanker usus besar atau kolorektal termasuk penyakit ganas urutan ke-10 tersering di dunia, termasuk Indonesia. Kanker rektum biasanya ditemukan pada pria dan wanita berusia di atas 50 tahun. Seiring dengan perubahan gaya hidup, pada saat ini, 50% penderita kanker kolon berusia di bawah 40 tahun. Kanker kolon tergolong fatal karena diperkirakan 50% penderitanya meninggal akibat penyakit ini.
Terdapat beberapa macam klasifikasi staging pada kanker kolon, ada klasifikasi TNM, klasifikasi Dukes, namun yang akan saya jabarkan klasifikasinya adalah sebagai berikut (mirip dengan klasifikasi Dukes) :
•    Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon
•    Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon
•    Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
•    Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain

G.    Penatalaksanaan
Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit. Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, opsi Operasi masih menduduki peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan). Penatalaksanaan Medis.

H.    Pengobatan
Bila sudah pasti ditemukan karsinoma kolorektal, maka kemungkinan pengobatannya adalah:
1.    Pembedahan Reseksi.
Satu-satunya pengobatan definitif adalah pembedahan reseksi dan biasanya diambil sebanyak mungkin dari kolon, batas minimal adalah 5 cm di sebelah distal dan proksimal dari tempat kanker. Untuk kanker di sekum dan kolon asendens biasanya dilakukan hemikolektomi kanan dan dibuat anastomosis ileo-transversal.Untuk kanker di kolon transversal dan di pleksura lienalis, dilakukan kolektomi subtotal dan dibuat anastomosis ileosigmoidektomi. Pada kanker di kolon desendens dan sigmoid dilakukan hemikolektomi kiri dan dibuat anastomosis kolorektal transversal. Untuk kanker di rektosigmoid dan rektum atas dilakukan rektosigmoidektomi dan dibuat anastomosis. Desenden kolorektal. Pada kanker di rectum bawah dilakukan proktokolektomi dan dibuat anastomosis kolorektal.
2.    Kolostomi
Kolostomi merupakan tindakan pembuatan lubang (stoma) yang dibentuk dari pengeluaran sebagian bentuk kolon (usus besar) ke dinding abdomen (perut), stoma ini dapat bersifat sementara atau permanen. Tujuan Pembuatan Kolostomi adalah.
Untuk tindakan dekompresi usus pada kasus sumbatan / obstruksi usus. Sebagai anus setelah tindakan operasi yang membuang rektum karena adanya tumor atau penyakit lain. Untuk membuang isi usus besar sebelum dilakukan tindakan operasi berikutnya untuk penyambungan kembali usus (sebagai stoma sementara).
Perawatan Pasca Operasi Kolostomi :
•    Keseimbangan cairan dan elektrolit.  Asenden colostomy atau colostomy yang diikuti dengan reseksi mungkin faecesnya cair diperlukan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
•    Perawatan kulit. Jika ada iritasi kulit harus dikaji secara tepat guna sehingga tindakan yang diambil tepat.
Prinsip pencegahan kulit sekitar stoma :
Pencegahan primer bertujuan untuk proteksi : Bersihkan dengan perlahan- lahan, gunakan skin barier, ganti segera kantong bila terjadi kebocoran / rembes atau penuh.
Pencegahan sekunder / penanganan kulit yang sudah terjadi kerusakan. Kulit dengan eritema : ganti kantong kolostomi setiap 24 jam, bersihkan ku1it dengan air hangat pakai kapas dan keringkan, gunakan kantong kolostomi yang tidak menimbulkan alergi ku1it yang erosi, sama dengan eritema tetapi setelah dibersihkan olesi daerah erosi dengan zalf misalnya zinksalf.
3.    Diet.
Dianjurkan mengkonsurnsi diet yang seimbang terutama dengan stoma permanen. Diet yang dikonsurnsi sifatnya individual asal tidak menyebabkan diare, konstipasi dan menimbu1kan gas.
4.    Irigasi kolostomi bertujuan untuk :
•    Mengeluarkan faeses, gas dan lendir/mukus yang memenuhi kolon.
•    Membersihkan saluran pencernaan bagian bawah.
•    Menetapkan suatu pengeluaran sehingga dapat melakukan aktivitas normal.
5.    Membantu pasien stoma.
•    Pertemuan grup
•    Penyuluhan untuk pasien dan keluarga serta, support mental
•    Radioterapi
Setelah dilakukan tindakan pembedahan perlu dipertimbangkan untuk melakukan radiasi dengan dosis adekuat. Memberikan radiasi isoniasi pada neoplasma. Karena pengaruh radiasi yang mematikan lebih besar pada sel-sel kanker yang sedang proliferasi, dan berdiferensiasi buruk, dibandingkan terhadap sel -sel normal yang berada di dekatnya, maka jaringan normal mungkin mengalami cidera da1am derajat yang dapat ditoleransi dan dapat diperbaiki, sedangkan sel-sel kanker dapat dimatikan, selanjutnya dilakukan kemoterapi.
6.    Kemoterapi
Kemoterapi yang diberikan ialah 5-flurourasil (5-FU). Belakangan ini sering dikombinasi dengan leukovorin yang dapat meningkatkan efektifitas terapi. Bahkan ada yang memberikan 3 macam kombinasi yaitu: 5-FU, levamisol, dan leuvocorin. Dari hasil penelitian, setelah dilakukan pembedahan sebaiknya dilakukan radiasi dan kemoterapi.
Read more »»  

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme