Makalah Asuhan Keperawatan ASMA BRONKIAL

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial  dengan ciri bronkospasme periodik(kontraksi spasme pada saluran nafas).(iman somantri, 2008).
Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus permanen. Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal,muncul karena berbagai penyebab dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai diding bronkial, baik secara langsung maupun tidak yang dapat mengganggu sistem pertahanan.
Oleh karena itulah, kami akan membahas masalah mengenai asma bronkhiale dan menjelaskan konsep teori serta asuhan keperawatannya.

B.    Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan kami kemukakan adalah :
1.    Konsep teori Asma bronkhiale
2.    Asuhan keperawatan Asma brinkhiale

C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat pembuatan makalah adalah untuk melatih dan menambah pengetahuan tentang asma bronkhiale. Disini diharapkan agar mahasiswa/mahasiswa dapat membuat asuhan keperawatan Asma bronkhiale. Di samping itu juga sebagai syarat dari tugas mata kuliah sistem imun.

D.    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, digunakan metode penulisan yang berdasarkan literatur atau metode pustaka.


 BAB II
KONSEP DASAR TEORI

( disusun oleh :
DERI SAPUTRa, MEYNI YASTATI ,NYAYU RATIH ,WINDA APRIANI ,MENGKI KRISTIAWAN )
A.    Definisi
Asma bronkhial adalah mengi berulang atau batuk persisten dalam keadaan di mana asma  adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Insidensi  asma dalam kehamilan adalah sekitar o,5-1% dari seluruh kehamilan.
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial  dengan ciri bronkospasme periodik(kontraksi spasme pada saluran nafas).(iman somantri, 2008).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (smeltzer, suzanne c,2002).

B.    Etiologi
Belum diketahui. Faktor pencetus adalah alergen, infeksi ( terutama saluran napas bagian atas ), iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks, gastroesofagus, dan psikis.
1.    Alergen
Yaitu protein, serbuk sari, spora jamur, bulu halus, bulu binatang, makanan, debu, dll.
2.    Infeksi saluran nafas
Berupa virus respiratori synchitial virus (RSV) dan virus influenza.
3.    Iritasi
Bisa didapatkan dari hairspray, minyak wangi, asap rokok, bau asam dari cat dan polutan udara, air dingin dan udara dingin.
4.    Perubahan cuaca yang ekstrim
5.    Refleks gastroesopagus
Yaitu iritas trakeobrinkhiale oleh isi lambung.
6.    Aktifitas yang berlebihan
7.    Psikologis/emosional
8.    Obat-obatan
9.    Linkungan kerja
10.    Polusi udara
11.    Pengawet makanan.

C.    Patofisiologi
Infeksi merusakan dinding bronkhials, sehingga akan menyebabkan struktur penunjang dan meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan menobstruksi bronkus. Dinding secara permanen menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi meluas ke jaringan peripbronkial, pada kondisi ini timbulah saccular bronchiectasis. Setiap kaliu dilatasi sputum kental akan berkumpul dan akan menjadi abses paru, eksudat keluar secara bebas melalui bronkus. Bronkietasis biasanya terlokalisasi dan mempengaruhi lobus atau segmen paru lobus bawah merupakan area yang Paling sering terkena.
Retensi dari sekret dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi dan colaps (atelektasis) alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi peradangan akan menggantikan fungsi dari jaringan paru. Pad asaat ini kondisi klien berkembang ke arah insufiensi pernapasan yang di tandai dengan menurunnnya kapasityas vital (vital capacity), penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume terthadap kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas dimana gas inspirasi saling bercampur dan juga terjadi hipoksemia.
Pencetus serangan yaitu berupa alergen, emosi, stress, obat-obatan, infeksi,dll dapat menimbulkan reaksi antigen dan antibodi kemudian dikeluarkannya substansi vasoaktif/sel mast ( histamin, bradikinin, anafilatoksin, prostaglandin), setelah itu terjadi kontraksi otot polos (bronkospasme), peningkatan permeabilitas kapiler (adema, mukosa, hipersekresi), dan sekresi mukus meningkat kemudian obstruksi saluran nafas yang menyebabkan batuk, dispnea, dan mengi.

D.    Manifestasi Klinis
1.    Dispnea parah dengan ekspirasi memanjang
2.    Wheezing
3.    Batuk produktif, kental dan sulit keluar
4.    Penggunaan otot bantu napas
5.    Sianosis, takikardia, gelisah dan pulsus paradoksus
6.    Hiperkapnia
7.    Anoreaksia
8.    Diaporesis
Karakteristik gejala dari bronkiektasi antara lain sebagai berikut.
1.    Batuk kronik dan produksi sputum purulen kehitaman
2.    Sejumlah besar dari klien mengalami hemoptisis ( 50-70% kasus dan dapat disebabkan oleh perdarahan mukosa jalan napas yang rapuh atau adanya inflamasi ).
3.    Pneumonia berat
4.    Clubbing finger, terjadi akibat insufisiensi pernapasan.
5.    Asimptomatik, pada beberapa kasus.
Bronkietaksis tidak dapat secara cepat di diagnosis, karena gejala-gejalanya mukin akan menyerupai brongkitis kronis. Tanda yang definitif dari bronkiektasis adalah riwayat batuk produktif dalam waktu jangka lama, dengan sputum yang secara tetap negatif terhadap basil turberkel. Diagnosis ditegakkan berasalkan hasil bronkografi, brokoskopi, CT-Scan yang akan menunjukkan ada tidaknya dilantasi bronkeal.
Pada anak yang rentan, inflamasi di saluran nafas ini dapat menyebabbkan timbulnya episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan,dan batuk. Khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas s dapat menunjang diagnosis asma. Dalam sekutum dapat di temukan kristal carcot-leyden dan spiral Curshman. Uji tiberkulin penting bukansaja karana di indonesia mqasih banyak tuberkulosis,tetapi jika ada tuberkulosis dan tidak di obti,asamanya mungkin akan sukr di kontrol.

Penatalaksanaan
 Hindari factor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas elrgi udara dingin, dan factor pesikis gunakan obat local seperti aminofilin atau kortikosteroid inhalasi atau oral pada serangan asma ringan. Obat anti asma modern umumnya tidak berpengaruh negative terhadap janin selama di gunakan sesuai dengan anjuran dokter, kecuali adrenalin. Adrenalin mempengaruhi pertumbuhan janin akibat penyempitan pembuluh darah ke janin yang dapat mengganggu oksigenisasi pada janin tersebut. Namun, harus diingat aminofilin dapat menyebabkan penurunan kontraksi uterus.
 Pada serangan asma akut, penangan sama dengan wanita hamil, yaitu berikan cairan intravena, encerkan cairan sekresi di paru, berikan O2 (setelah pengukuran PO2, PCO2) sehingga tercapai PO2>60 mmHg dengan kejenuhan 95% oksigen atau normal, cek bayi, dan berikan obat kortikosteroid.
Pada status asmatikus dengan dengan gagal nafas, jika setelah pengobatan intensif selama 30-60 menit tidak terjadi perubahan, secepatnya lakukan intubasi. Berikan antibiotik bila terdapat dugaan terjadi infeksi.
Upayakan persalinan secara spontan. Namun, bila pada pasien berada dalam serangan, lakukan ekstraksi vakum atau forceps. Seksio sesarea atas indikasi asma jarang au tak pernah dilakukan. Teruskan pengobatan regular asma selama proses kelahiran. Jangan diberikan analgesic yang mengandung histamine, tapi pilihlah morfin atau analgesic epidural. Hati-hati pada tindakan intubasi dan penggunaan prostaglandin E2 karena dapat menyebabkan bronkospasme.
Dokter sebaiknya memilih obat yang tidak mempengaruhi air susu. Aminofilin dapat terkandung dalam air susu sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan, gelisah, dan gangguan tidur. Namun, obat antiasma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya karena kadarnya dalam air susu sangat kecil.
Ada 4 tujuan utama dari penatalaksanaan medis pada klien bronkiektasi yaitu sebagai berikut:
a.    Menemukan dan menghilangkan masalah yang mendasari
b.    Memperbaiki kebersihan secret trakeobronkial
c.    Engendalikan infeksi, khususnya pada masa eksaserbasi akut
d.    Memulihkan obstruksi aliran udara pernapasan.
Pengontrolan infeksi dilakukan dengan pemberian obat anti microbial, berdasarkan hasil uji  sensitivitas kultur organisme  dari sputum. Klien mungkin akan diberikan obat antibiotic sel ama  bertahun-tahun dengan tipe antibiotic yang berbeda sesuai dengan perubahan dalam interval.
Postural drainase merupakan dasar dari rencana penatalaksanaan, dikarenakan drainase pada area bronkiektasis dilakukan dengan menggunakan gaya gravitasi.
Bronkodilator dapat diberikan kepada orang yang juga mengalami penyakit jalan nafas obstruktif.
Intervensi bedah meskipun sering dilakukan tetapi tindakan ini hanya di indikasikan untuk klien yang mengalami ekspektorasi sputum yang berlanjut dalam jumlah besar dan mengalami peneomonia serta hemobtisis berulang pada klien yang tidak berobat secara teratur.


F.    Pemeriksaan penunjang
1    Spirometer
Dilakukan sebelum dan sesudah bronkodilator hirup (nebulizer/inhaler), positif jika peningkatan VEP/KVP > 20%.
2    Sputum : eosinofil meningkat
3    Eosinofil darah meningkat
4    Uji kulit
5    RO dada
Yaitu patologis paru/komplikasi asma
6    AGD
Terjadi pada asma berat pada fase awal terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PCO2 turun) kemudian fase lanjut normokapnia dan hiperkapnia (PCO2 naik).
Foto dada AP dan lateral. Hiperinflasi paru, diameter anteroposterior membesar pada foto lateral, dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar.
Analisis gas darah: hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis metabolic, atau respiratorik. Pemeriksaan deteksi cepat  antigen RSV yang dapat dikerjakan secara bedside.


BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A.    Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
1.    Riwayat kesehatan yang lalu:
•    Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
•    Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
•    Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2.    Aktivitas
•    Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
•    Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
3.    Aktivitas sehari-hari.
•    Tidur dalam posisi duduk tinggi.
4.    Pernapasan
•    Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
•    Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
•    Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
•    Adanya bunyi napas mengi.
•    Adanya batuk berulang.
5.    Sirkulasi
•    Adanya peningkatan tekanan darah.
•    Adanya peningkatan frekuensi jantung.
•    Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
•    Kemerahan atau berkeringat.
6.    Integritas ego
•    Ansietas
•    Ketakutan
•    Peka rangsangan
•    Gelisah
7.    Asupan nutrisi
•    Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
•    Penurunan berat badan karena anoreksia.
8.    Hubungan sosial
•    Keterbatasan mobilitas fisik.
•    Susah bicara atau bicara terbata-bata.
•    Adanya ketergantungan pada orang lain.

B.    Diagnosa yang Mungkin Muncul (Nanda, 2005-2006)
Diagnosa 1     :     Bersihan jalan nafas tidak efektif  b/d bronkospasme.
Diagnosa 2 :      perubahan nutrisi b/d Ketidak mampuan asupan makan.
Diagnosa 3: Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunita.( pertahanan)
Diagnosa 4    :     Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.

C.    Intervensi keperawatan
Dx 1. Bersihkan jalan napas tidak efektif
Mandiri
•    Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi.
•    Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
•    Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
•    Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh: meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur
•    Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll.
•    Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi bronkodilator
Kolaborasi
•    Berikan oksigen tambahan 2-4/menit
•    Berikan obat sesuai indikasi ; Bronkodilator,kortikosteroid, mukolitik

Dx 2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru  selama serangan akut      
Tujuan: pola nafas efektif
Kriteria hasil:
•    Sesak berkurang atau hilang
•    RR 18-24x/menit
•    Tidak ada retraksi otot pernapasan
Intervensi:
•    Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan : dispnea, penggunaan otot-otot pernapasan
•    Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas dalam arteri
•    Baringkan pasien dalam posisi fowler tinggi untuk memaksimalkan ekspansi dada
•    Berikan terapi oksigen sesuai pesanan

Dx 3. Kerusakan pertukaran gas
Mandiri
•    Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
•    Palpasi fremitus
•    Awasi tanda vital dan irama jantung

Dx. Kep3: Malnutrisi b/d anoreksia
Intervensi :
•    Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
•    Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
•    Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.

Dx. Kep 4: Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Intervensi:
•    Awasi suhu.
•    Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat.
•    Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram, kultur/sensitifitas (kolaborasi).

Dx. Kep 5: Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ; salah mengerti.
Intervensi:
•    Jelaskan tentang penyakit individu.
•    Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
•    Tunjukkan teknik penggunaan inhaler.

B.    Analisa Data
No    Data    Masalah    Penyebab
1    Data Subjektif :
-    Klien mengatakan batuk ketika berpaparan dengan debu.
-klien mengatakan sesak napas.

Data Objektif :
-    Klien tanpak berkeringat dan susah bernafas.
TTV :
-    N : 80 x /i
-    T : 37oC
-    RR : 28 x / i
-    TD : 100 / 60 mmHg   


Bronkos pasme   


Bersihan jalan napas tidak efektif
2    Data Subjektif :
-    Ibu mengatakan anaknya mengalami batuk produktif dan susah bernafas.
-    Ibu mengatakan anaknya tanpak pucat,lemah saat batuk.

Data Objektif :
-    Anak tampak lemah dan gelisah
-    Tapak pucat
-    Batuk produktif, kental dan sulit keluar.
-    TTV
N : 80 x / i
T : 37oC
RR : 28 x /I
TD : 100/60 mmHg
   
Imunitas   

Resiko tinggi terhadap infeksi
3    Data Subjektif :
-    Ibu mengatakan nafsu makan menurun sejak sakit
-    Ibu mengatakan anak mengalami mual dan muntah

Data Objektif :
-    Nafsu makan menurun
-    Anak tidak bisa menghabiskan porsi makan    


Perubahan nutrisi

   
Kurangnya asupan makanan  &

Ketidak mampuan asupan makanan


C.    Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan    Tujuan    Rencana tindakan    Rasionalisasi
Bersihan jalan nafas tak efektif b/d peningkatan produksi mukus yang ditandai os batuk dan dahak sulit keluar, sputum warna putih kental,os gelisah    Setelah diberi tindakan perawatan selama 3x 24 jam jalan nafas pasien efektif ,dengan KE:

-Bunyi jalan nafas bersih/jelas

-Pasien bisa batuk efektif dan mengeluarkan sekret    - Auskultasi bunyi nafas ,catat adanya bunyi mengi, ronkhi



-Pantau frekuensi pernafasan.catat rasio inspirasi/ expirasi

-Beri posisi nyaman, misal:peninggian kepala tempat tidur,duduk pada sandaran tempat tidur

 
-Beri pasien 6-8 gelas /hari kecuali ada indikasi lain

-Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernafasan diafragma dan batuk

-Lakukan drainage postural dengan perkusi dan fibrasi pada pagi dan malam sesuai yang diharuskan


-Instruksikan pasien menghindari iritan seperti asap , asap rokok, aerosol, cuaca dingin

-Beri bronkodilator sesuai therapi    -Mengetahui luasnya obstruksi oleh mukus





-Mengetahui tanda stress pernafasan


-Sekresi bergerak sesuaigayagravitasi akibat perubahan posisi dan meningkatkan kepala tempat tidur akan memindahkan isi perut menjauhi diafragma sehingga memungkinkan diafragma untuk berkontraksi

-Mengencerkan sekret.


-Mengeluarkan sekret dan meningkatkan patensi jalan nafas

-Merontokkan sekret agar mudah dikeluarkan








- Tidak merangsang pembentukan mukus lagi


 -Memfasilitasi pergerakan sekret.

 Kerusakan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi dan perfusi yang ditandai dengan os mengatakan nafas sesak , tampak retraksi otot bantu pernafasan,RR > 20 kali /menit,PaO2 < 60 mmHg, Pa CO2 > 40 mmHg, os tampak sianosis
     Setelah diberi tindakan perawatan selama 3×24 jam terjadi perbaikan dalam pertukaran gas dengan KE:
-GDA dalam rentang normal
-Gejala disstres pernafasan tidak ada
-Tanda –tanda vital dalam batas normal
-Gelisah tidak ada    -Observasi frekuensi, kedalaman pernafasan,catat penggunaan otot bantu nafas,nafas bibir,ketidakmampuan bicara/ berbincang

-Observasi tingkat kesadaran

-Monitor AGD




-Atur pemberian oksigen



-Beri posisi duduk(fowler)


-Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kemampuan


-Beri bronkodilator sesuai therapy




-Observasi tanda vital, dan warna membrane mukosa kulit

 -Kolaboratif tindakan intubasi dan ventilasi mekanik bila perlu    -Mengetahui adekuatnya jalan nafas dan meningkatnya kerja pernafasan



-Mengetahui indikasi hipoksia

-Menentukan keseimbangan asam basa ,dan kebutuhan oksigen

-Menambah suplai O2 sehingga meningkatkan pertukaran gas

-Mengoptimalkan kontraksi diafragma

-Memfasilitasi pernafasan yang dalam sehingga O2 yang masuk lebih banyak

-Meningkatkan diameter jalan nafas sehingga mengurangi kerja pernafasan

-Mengetahui adekuatnya suplai O2 ke paru-paru dan jaringan
 -Mempertahankan suplai O2 saat terjadi gagal nafas

.Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik yang ditandai dengan os mengatakan badan lemah, os mengatakan nafas sesak,berkeringat
 
     Setelah diberi tindakan perawatan selama 3×24 jam pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas, dengan KE:
-Pasien dapat dan mau melakukan aktivitas sesuai kemampuannya
-Tanda tanda vital dalam batas normal

 telah diberi tindakan perawatan 2x 30 menit rasa cemas pasien berkurang dengan,
    -Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas


-Catat adanya dispnea, peningkatan kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.

-Berikan kepada pasien aktivitas sesuai kemampuannya



-Pertahankan obyek yang digunakan pasien agar mudah terjangkau



-Bantu pasien melakukan aktivitas dengan melibatkan keluarga

-Observasi vital sign




-Kaji tingkat cemas pasien(ringan ,sedang, berat,panik)

-Bantu pasien menggunakan koping yang efektif

     -Menentukan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas

-Menentukan periode istirahat pasien dan aktivitas yang menimbulkan kelelahan pasien.

 -Memenuhi kebutuhan pasien tanpa menimbulkan kelelahan

-Memudahkan pasien dalam penggunaan sehingga mengurangi penggunaan O2

-Semua kebutuhan pasien dapat terpenuhi


-Tanda vital yang normal mendukung pasien untuk beraktivitas

-Petunjuk intervensi yang terapeutik

 -Bisa menghilangkan cemas ,membantu pasien menggunakan pikiran yang sehat kedepan.
Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d susah makan    Setelah diberikan tindakan perawatan 1x 24 jam pasien tidak mengalami perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan KE:
-Pasien mau makan



-Sesak nafas dan batuk berkurang


-Pasien tahu pentingnya nutrisi untuk pemulihan    -Lakukan prosedur terapi sesuai advis


-Beri informasi tentang pentingnya nutrisi untuk pemulihan

-Anjurkan keluarga untuk membantu pasien makan

-Beri diet lunak TKTP    -Sesak dan produksi mukus berkurang


-Pasien termotivasi untuk mau makan



-Kebutuhan pasien akan nutrisi terpenuhi

-Makanan mudah dicerna dan kebutuhan kalori terpenuhi

Kurang pengetahuan b/d kurang informasi yang ditandai dengan os mengatakan tidak tahu faktor penyebab penyakit dan kekambuhan
     Setelah diberikan tindakan perawatan 2 x 30 menit pengetahuan pasien bertambah dengan KE :
-Os tahu tentang penyakitnya

-Os tahu penyebab/ pencetus penyakit

-Os tahu cara menghindari kekambuhan    -Beri KIE tentang pengertian dan penyebab / pencetus dari penyakit

-Beri KIE cara menghindari kekambuhan seperti:
menghindari cuaca dingin dan debu, memakai baju penghangat dan masker hidung, mengurangi aktivitas / latihan berlebih.

-Beri KIE untuk kontrol ulang penyakitnya
    -Os tahu tentang sakitnya dan tahu faktor penyebab / pencetus penyakit

- Os tahu dan bisa menghindari faktor pencetus kambuh


-Os tahu perkembangan penyakit sehingga resiko kambuh berkurang
           
D.    Tindakan Keperawatan
Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan untuk menilai     keberhasilan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana tujuan yaitu:
1    Bersihan jalan nafas pasien efektif
2    Pasien mengalami perbaikan dalam pertukaran gas
3    Pola nafas pasien efektif
4    Pasien menunjukkan toleransi terhadap aktivitas
5    Rasa cemas pasien berkurang.
6    Pasien tidak mengalami perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
7    Kebutuhan istirahat dan tidur pasien terpenuhi
8    Pengetahuan pasien tentang penyakitnya bertambah
9    Pasien tidak mengalami infeksi

BAB V
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Asma adalah mengi berulang atau batuk persisten dalam keadaan di mana asma  adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Insidensi  asma dalam kehamilan adalah sekitar o,5-1% dari seluruh kehamilan.
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial  dengan ciri bronkospasme periodik(kontraksi spasme pada saluran nafas).(iman somantri, 2008).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (smeltzer, suzanne c,2002).
Biasanya pada asma diagnosa yang pertama kali muncul adalah klien  merasakan sesak nafas yang berhubungan dengan proses penyakit. Sebab pada saat pengkajian pada pasien asma ditemukan bahwa pasien merasa susah dalam bernafas, berkeringat, anoreksia dan sulit dikeluarkan.
Adapun tindakan yang dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh anak yaitu dengan memberikan kompres hangat, karena bila menggunakan kompres dingin dapat mempercepat panas tubuh. Sementara, tindakan yang dilakukan untuk mengatasi kurang volume cairan dengan memenuhi kebutuhan cairan melalui pemberian infus ringer laktat 5% (RL) atau dekstrosa 5%.

B.    Saran
Diharapkan kepada para pembaca khususnya mahasiswa/i STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu dapat memahami konsep teori asuhan keperawatan dari ASMA.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Medika.

Supriyadi Agus_Document/2012

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kesatu. Jakarta. Media Aesculapius.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi Kedua. Jakarta : Buku Kedokteran.

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Kesatu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Doongoes, E Marilynn.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Read more »»  

Gangguan Sistem Sensori Persepsi Askep Glaukoma

Asuhan Keperawatan pasien dengan Glaukoma


1.1    Pengertian
            Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan mata tidak normal atau lebih tinggi dari pada normal yang mengakibatkan kerusajan saraf pengelihatan dan kebutaan(Sidarta Ilyas,20004).
            Glaukoma adalah adanya kesamaan kenaikan tekanan intra okuler yang beerakhir dengan kebutaan(Fritz Hollwich,1993).
            Glaukoma merupakan kelainan mata yang mempunyai gejala kenaikan tekanan intra okuker,dimana dapat mengakibatkan pencekungan papil syaraf optic sehingga trejadi atropi syaraf optik, penyempitan lapang pandang(Martenili,1991).
            Glaukoma berasal dari kata yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaucoma. Kelainan mata glaucoma yang ditandai dengan kenaikan tekanan bola mata atropi saraf optikus dan menciutnya lapang pandang. Glaukoma dalah suatu penyakit dimana tekanan didalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi pengelihatan(Mayaendru Dwinra,2009).

1.2 Klasifikasi
            Klasifikasi glaukoma berdasarkan etiologi yaitu:
•    Glaukoma primer
•    Glaukoma kongenital
•    Glaukoma skunder
Klasifikasi glukoma berdasarkan mekanisme peningkatan teknan intra okuler yaitu:
    Glaukoma sudut terbuka
    Glaukoma sudut tertutup



1.2    Etiologi
Penyebabnya tergantung dari klasifikasi glaukoma itu sendiri tetapi pada umumnya disebabkan karena aliran aqueous humor terhambat yang bisa meningkatkan tekanan intra okuler.
Faktor-faktor resiko dari glaukoma adalah (Bahtiar Latif,2009).
    Umur
    Riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma
    Tekanan bola mata /kelainan lensa
    Obat-obatan

1.3    Patofisiologi
            Aqueous humor secara kontinou diproduksi oleh badan silier (sel epitel prosesus siliari bilik mata belakang untuk memberikan nutrient pada lensa. Aqueous humor mengalir melalui jaring-jaring trabukuler, pupil, bilik mata depan, trabukuler meshword dank kanal schlem. Tekanan intra okuler (TIO) dipertahankan dalam batas 10-21 mmHG tergantung keseimbangan antara produksi dan pengeluaran ( aliran ) aqueous humor dibilik mata depan.
    Peningkatan TIO akan menekan aliran darah kesaraf optic dan retina sehingga dapat merusak serabut saraf optic menjadi iskemik dan mati selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan dimulai dari perifer menuju ke fovia sentralis. Hal ini menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari daerah nasal atas dan sisa terakhir pada temporal (Sunaryo Joko Waluyo, 2009).



1.4    Manifestasi Klinis
    Keluhan yang sering muncul adalah sering menabrak akibat pandangan yang menjadi jelek atau kabur, lapang pandang menjadi lebih sempit hingga kebutaan secara permanen.
Gejala lain adalah : (Hanawartiaj,2008)
•    Mata merasa sakit tanpa kotoran
•    Kornea suram
•    Disertai sakit kepala hebat terkadang sampai muntah
•    Kemunduran penglihatan yang berkurang cepat
•    Nyeri dimata dan sekitarnya
•    Udema kornea
•    Pupil lebar dan reflex berjurang sampai hilang
•    Lensa keruh

1.6    Komplikasi
    Komplikasi dari glaucoma menurut berbagai sumber adalah kebutaan.

1.7    Pemeriksaan Diagnostik
    Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : (Hanarwatiaj,2008)
•    Oftalmoskopi
Untuk melihat fondus mata bagian dalam yaitu retina , diskus optikus macula dan pembuluh darah retina.
•    Tonometri
Adalah alat untuk mengukur tekanan intra okuler, nilai yang mencurigakan apabila berkisar antara 21-25 mmHG dan dianggap patilogi bila melebihi 25 mmHG.
•    Perimetri
Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang pandangan yang has pada glaucoma . secara sederhana , lapang pandang dapat diperiksa dengan tes konfrontasi.
•    Pemeriksaan Ultrasonotrapi
Adalah gelombang suara yang dapat digunakan untuk mengukur dimensi dan struktur okuler.

1.8    Penatalaksanaan
Glaucoma bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan , glaucoma dapat dicegah untuk menghambat kerusakan lanjut dari lapang pandangan dan rusaknya sraf penglihatan. Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan TIO ketingkat yang konsisten dengan mempertahankan penglihatan, penatalaksanaan berbeda-beda tergantung klasifikasi glaucoma dan respon terhadap terapi (Harnawatiaj,2008):
•    Terapi obat
1.Pengahambat adrenerjik beta
2.Apraklonidin
•    3.Inhibitor karbonat anhidrase
•    Terapi bedah laser
Penembakan laser untuk memperbaiki aliran humo aqueous dan menurunkan TIO
•    Bedah drainase
Tindakan bedah untuk membuat jalan pintas dari mekanisme drainase noral sehingga terbentuk akses langsung humor aqueous dari kamera anterior kejaringan sub konjungtifa, dapat dibuat dengan trabakulotomi atau insersi selang drainase.
•    Irepdektomi perifer atau lateral
Dilakukan untuk mengangkat sebagian iris untuk memungkkinkan aliran humor aqueous dari kornea posterior ke anterior

BAB  II
KONSEP DASAR ASKEP



2.2.1 Pengkajian teoritis lengkap
i.Identitas
Lebih sering terjadi pada usia 40 tahun keatas
ii.Keluhan utama
Berkurangnya lapang pandang dan mata menjadi kabur
iii.Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengatakan matanya kabur dan sering menabrak

Pemeriksaan fisik
iv.Riwayat penyakit dahulu
kaji apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan kortikosteroid
v.Riwayat penyakit keluarga
kaji apakah ada kelurga yang menglami penyakit glaucoma sudut terbuka primer.

a.aktivitas atau istirahat
gejala: perubahan aktivitas biasanya atau hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
b.makanan atau cairan
gejala:mual atau muntah
c.neuro sensori
gejala: gangguan penglihatan (kabur atau tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer. Penglihatan berawan atau kabur , tanpa lingkaran cahaya atau pelangi sekitar sinar , kehilangan penglihatan perifer, photofobia (glaucoma akut). Perubahan kacamata atau pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda: pupil menyempit dan merah atau mata keras dengan kornea berawan (glaucoma darurat). Peningkatan air mata.
d. Nyeri atau kenyamanan
gejala: ketidaknyamanan ringan atau mata berair ( glaucoma kronis). Nyeri tiba-tiba atau berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaucoma akut)

2.2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penerimaan sensori: gangguan status organ
2. Ansietas b/d penurunan penglihatan actual
3. Nyeri b/d peningkatan TIO
4. Gangguan citra tubuh b/d hilangnya penglihatan
5. Ketidakmampuan dalam perawatan diri b/d penurunan penglihatan

2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan

No    Diagnosa Keperawatan    Tujuan    Kriteria Hasil    Intervensi    Rasional
1    Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penerimaan sensori: gangguan status organ
    Penggunaan penglihatan yang optimal.    Mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut.    Mandiri:
1.Pastikan derajat atau tipe kehilangan penglihatan.
2.Dorong mengekspresikan  perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
3.Tunjukkan pemberian tetes mata,contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal, tidak salah dosis.
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai indikasi:
1.Pilokarpin hidroklorida (isoptocarpin, Ocusertpilo, pilopine HS Gel);
2.Asetazolamid (Dioamox).    Mandiri:
1.Mempengaruhi harapan masa depan pasien dan pilihan intervensi.
2.Sementara intervensi dini mencegah kebuutaan, pasien menghadapi kemungkinan atau mengalami pengalaman kehilangan penglihatan sebagian atau total. Meskipun kehilangan penglihatan telah terjadi tak dapat diperbaiki (meskipun dengan pengobatan), kehilngan lanjut dapat dicegah.
3.Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lanjut.
Kolaborasi:
1.Obat miotik tropical ini menyebabkan kontriksi pupil, memudahkan keluarnya aqueous humor.
2. Menurunkan laju produksi aqueous humor.

2    Ansietas b/d penurunan penglihatan actual    Cemas hilang atau berkurang    Menunjukan ketajaman pemecahan masalah.    1.Kaji tingkat ansietas, derajat pengalaman nyeri/ timbulnya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
2.Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan penglihatan tambahan.
3.Dorong pasien unttuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan.
4.Identifikasi sumber/orang yang menolong.    1.Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap ancaman diri. Potensial siklus ansietas, dan dapat mempengaruhi upaya medic untuk mengontrol TIO.
2.Menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidak tahuan/ harapan yang akan datang dan memberikan dasar fakta untuk membuat pilihan informasi tentang pengobatan.
3.Memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata, mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah.
4.Memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri dalam menghadapi masalah.
3    Nyeri b/d peningkatan TIO
    Nyeri hilang atau berkurang    Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam pasien mengatakan nyerinya berkurang.    1.Kaji tingkat nyeri
2.Pantau derajat nyeri mata setiap 30 menit selama fase akut.
3.Siapkan pasien untuk pembedahan sesuai peranan.
4.Pertahankan tirah baring ketat pada posisi semi fowler
5.berikan lingkungan gelap dan terang.    1.Mengetahui tingkat nyeri untuk memudahkan intervensi selanjutnya.
2.Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
3.Setelah TIO terkontrol pada glaucoma sudut terbuka, pembedahan harus dilakukan untuk secara permanen menghilangkan blok pupil.
4.Tekanan pada mata ditingkatkan bila tubuh datar
5.stress dan sinar mienimbulkan TIO yang mecetuskan nyeri.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
    Glaukoma adalah suatu keadaan dimana ditandai dengan peningkatan tekanan intra okuler yang dapat merusak saraf mata sehingga mengakibatkan kebutaan. Glaucoma diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intra okuler. Penyebab tergantung dari klasifikasi glaucoma itu sendiri tetapi pada umumnya disebabkan karena aliran aqueus humor terhambat yang bisa meningkatkan TIO. Tanda dan gejalanya kornea suram, sakit kepala , nyeri, lapang pandang menurun,dll. Komplikasi dari glaucoma adalah kebutaan. Penatalaksanaannya dapat dilakukan pembedahan dan obat-obatan.

3.2 Saran
    Hendaknya jika mengalami tanda dan gejala glaucoma sevara cepat melakukan pemeriksaan dini agar glaucoma dapat ditangani.


Read more »»  

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN DERMATITIS ATOPIK

KONSEP TEORITIS PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK

DISUSUN OLEH : NOVA DWI A, ZEPLEN CHITRA, IRWAN AFRIANDI
STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU

1.    Definisi
Dermatitis atopik merupakan kelainan hipersensitivitas segera (immediate hypersensitivity) tipe 1 (Keperawatan Medical-Bedah Volume 3, 2001:1775).
Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan karena faktor alergen dengan ditandai adanya erupsi pada kulit makulo papuler dengan kemerahan, gatal, lesi, kulit kering, dan adanya eksudasi (Pengantar Ilmu Keperawatan Anak,2006: hal.137).
Dermatitis atopik adalah dermatosis dengan gambaran klinis seperti eczema, dengan perasaan gatal yang sangat mengganggu penderita dan disertai stigmata atopi pada penderita sendiri atau dalam keluarganya (Ilmu Kesehatan Anak 1, 1985:hal. 234)
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. (Suria Djuanda dan Sri Adi Sularsito, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 3,2002)
Istilah dermatitis atopik masih ada silang pendapat. Banyak istilah lain yang digunakan, misalnya : ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo besnier. Tetapi, hingga sekarang yang banyak diterima ialah dermatitis atopik.

2.    Etiologi
     Faktor Genetik, terdapat riwayat stigmata atopi berupa asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik, dan dermatitis atopic dalam keluarganya.
     Faktor Imunologik, pada penderita ditemukan peningkatan jumlah IgE dalam serum.
     Faktor Psikologik, seperti stress emosional dapat memperburuk dermatitis atopik.
     Faktor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik (makanan, inhalan, dan alergen lain, kelembaban rendah, keringat berlebih, penggunaan bahan iritasi).

3.    Patofisiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti. Gambaran klinis yang muncul diakibatkan oleh kerja sama berbagai faktor konstitusional dan faktor pencetus.
Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik dalam keluarganya. Keadaan atopi ini diturunkan, mungkin tidak di ekspresikan oleh gen tunggal, tetapi oleh banyak gen (polygenic). Pada penderita dermatitis atopik, ditemukan peningkatan jumlah IgE di dalam serum. Antigen akan ditangkap oleh fagosit kemudian akan dipresentasikan ke sel T2 Helper (Sel Th2) . Sel Th2 akan memproduksi Sitokin kemudian mengaktifkan seL-sel B untuk tumbuh dan berdiferensiasi sehingga menghasilkan Antibodi IgE. IgE menempel di sel mast, lalu melepaskan mediator kimia berupa Histamin. Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T sehingga terjadi peningkatan IgE yang akan menyebabkan pruritus (rasa gatal) pada penderita. Sel mast akan meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin karena garukan akibat gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat juga akan menurun pada 80% penderita dermatitis atopik, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) meningkat sehingga berakibat meningkatnya kerawanan (suseptibilitas) terhadap infeksi virus, bakteri dan jamur, lalu menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1)
Rasa gatal (pruritus) dan reaktivitas kulit yang kuat merupakan tanda penting pada dermatitis atopik. Pruritus dapat timbul karena faktor intrinsik kulit, yaitu ambang gatal yang rendah. Eksaserbasi pruritus timbul disebabkan oleh berbagai macam faktor pencetus yang akan memperburuk dermatitis atopik, antara lain :
•    Makanan, inhalan berbagai alergen lain (seperti debu, kapuk, bulu binatang, serbuk sari, karpet, boneka berbulu). Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap alergen tsb dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1
•    Kelembaban rendah sehingga menyebabkan kulit menjadi kering karena ada penurunan kapasitas pengikatan air, kehilangan air yang tinggi di transepidermal, dan penurunan isi air. Pada bagian kehilangan air mengalami kekeringan yang lebih lanjut dan peretakan dari kulit, menjadi lebih gatal.
•    Keringat berlebih, disebabkan lingkungan yang bersuhu panas/dingin dan kelembaban tinggi atau rendah, sinar matahari.
•    Penggunaan bahan iritan, seperti wol, sabun, deterjen, dll akan memicu terjadinya pruritus pada kulit.
Faktor psikologik juga berpengaruh pada dermatitis atopik. Factor psikologik ini juga merupakan factor pencetus yang dapat memperburuk dermatitis atopik. Misalnya saja seseorang yang stress emosional, dapat menimbulkan respons gatal sehingga menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Karena stress, tubuh penderita akan terpajan oleh alergen yang sama. Kemudian timbul sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1, sehingga terjadi peningkatan IgE dalam jumlah yang lebih besar. Maka dari itulah akan timbul infeksi sekunder yang dapat memperburuk dermatitis atopik.

4.    Manifestasi Klinis
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.

     Bentuk infantil (2 bulan-2 tahun).
Masa awitan paling sering pada usia 2-6 bulan. Lesi mulai di muka (pipi, dahi) dan scalp, tetapi dapat pula mengenai tempat lain (badan, leher, lengan dan tungkai). Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Lesi beruoa eritema dan papulovesikel miliar yang sangat gatal; karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, dan eksudasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Garukan dimulai setelah usia 2 bulan. Rasa gatal ini sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur dan menangis. Lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan, mulai tampak likenifikasi di bagian fleksor. Pada usia 2 tahun sebagian besar penderita sembuh, sebagian berlanjut menjadi bentuk anak.

     Bentuk anak (3-11 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas; karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Tempat prediliksi di lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan, dan kaki; jarang mengenai muka. Tangan mungkin kering, likenifikasi atau eksudasi; bibir dan perioral dapat pula terkena; kadang juga pada paha belakang dan bokong. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan, yaitu lipatan kulit di bawah kelopak mata bawah.

     Bentuk remaja dan dewasa (12-30 tahun)
Tempat prediliksi di muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher, dada bagian atas, lipat siku, lipat lutut, punggung tangan; biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus; kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya dermatitis atopik bentuk remaja dan dewasa berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai tua. Dapat pula ditemukan kelainan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, scalp. 

Selain itu manifestasi lain berupa kulit penderita tampak kering dan sukar berkeringat. Ambang rangsang gatal rendah, sehingga penderita mudah gatal, apalagi bila berkeringat.

6.    Penatalaksanaan
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering dan sangat peka terhadap berbagai rangsangan. Penderita merasa sangat gatal, sehingga terpaksa menggaruk. Perjalanan dermatitis berlangsung kronis dan cenderung berulang (kambuh). Banyak faktor yang menyebabkan kambuhnya penyakit ini, misalnya infeksi kulit, iritasi, berkeringat atau kedinginan, stress, endokrin (contoh: kehamilan, penyakit tiroid, haid). Oleh karena itu, penatalaksanaannya pada dasarnya berupaya menghindari atau menyingkirkan faktor-faktor tersebut.
Kulit yang sehat boleh disabun dengan sabun khusus untuk kulit kering, tetapi jangan terlalu sering agar lipid di kulit tidak banyak berkurang sehingga kulit tidak semakin kering. Kulit diolesi dengan krim emolien, maksudnya membuat kulit tidak kaku dan tidak terlalu kering. Pakaian jangan yang terbuat dari wol atau nilon karena dapat merangsang, pakailah katun karena selain tidak merangsang juga dapat menyerap keringat. Keringat akan menambah rasa gatal, oleh karena itu pakaian jangan ketat; ventilasi yang baik akan mengurangi keringat.
Hindarkan dari perubahan suhu dan kelembaban mendadak. Sebaiknya mandi dengan air yang suhunya sama dengan suhu tubuh, karena air panas maupun air dingin menambah rasa gatal.
Upayakan tidak terjadi kontak dengan debu rumah dan bulu binatang karena dapat menyebabkan rasa gatal bertambah dan menyebabkan penyakit kambuh.
Makanan dapat mempengaruhi terjadinya kekambuhan atau menambah rasa gatal. Sebagian kecil para penderita alergi terhadap makanan, yang sering ialah susu sapi, terigu, telur, dan kacang-kacangan. Dengan meningkatnya usia, kemungkinan mendapat alergi tersebut semakin berkurang.
Stress emosional akan memudahkan penyakitnya kambuh, oleh karena itu hendaknya dihindari atau dikurangi.
Imunitas selular penderita dermatitis atopik menurun, sehingga mudah mengalami infeksi oleh virus, bakteri dan jamur. Bila mendapat infeksi virus, misalnya vaksinia atau herpes simpleks, akan menimbulkan gejala akut berupa timbulnya banyak vesikel dan pustule yang akan menyebar, disertai demam yang tinggi, dan dapat menyebabkan kematian; disebut erupsi variseloformis atopik Kaposi. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik tidak boleh berdekatan dengan pendekatan varisela, herpes zoster, atau herpes simpleks.
Kuku dipotong pendek agar bila menggaruk tidak sampai timbul luka, sehingga tidak mudah terjadi infeksi sekunder.

7.    Komplikasi
     Pada anak penderita Dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita Dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
     Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
     Penderita Dermatitis atopik, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.

8.    Pemeriksaan Diagnostik
     Darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE
     Dermatografisme putih. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respons , yakni berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, dan edema timbul sesuah beberapa menit. Penggoresan pada pasien atopik akan bereaksi berlainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2-5 menit, edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
     Percobaan asetilkolin. Suntikan secara intrakutan 1/5000 akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopik akan timbul vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.

     Percobaan histamin. Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritema akan berkurang dibandingkan dengan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit yang normal.

Selain itu, HANIFIN dan LOBITZ (1977) menentukan kriteria diagnosis dermatitis atopik secara rinci sebagai berikut :
     Harus terdapat :
•    Pruritus
•    Morfologi dan distribusi yang khas: likenifikasi fleksural pada orang dewasa, gambaran dermatitis di pipi dan ekstensor pada bayi.
•    Kecenderungan menjadi kronis atau kambuh.
     Ditambah 2 atau lebih tanda lain :
•    Adanya penyakit atopic (asma bronchial, rinitis alergik, dermatitis atopik) pada penderita atau anggota keluarganya.
•    Tes kulit tipe cepat yang reaktif
•    Dermografisme putih atau timbul kepucatan pada tes dengan zat kolinergic
•    Katarak subkapsular anterior.
     Ditambah 4 atau lebih butir berikut ini :
•    Xerosis/ iktiosis/ hiperlinear Palmaris
•    Pitiriasis alba
•    Keratosis pilaris
•    Kepucatan fasial/ warna gelap infra orbital
•    Tanda dennie morgan
•    Peningkatan kadar IgE
•    Keratokunosus
•    Kecenderungan mendapatkan dermatitis nonspesifik di tangan
•    Kecenderungan infeksi kulit yang berulang.


4.    Kemungkinan diagnosa keperawatan
     Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit.
     Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen
     Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus.

1.    Kesimpulan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik.
Penyebabnya ialah ditemukan Riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis alergik, dermatitis atopic dalam keluarganya, peningkatan jumlah IgE dalam serum, penurunan Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibat meningkatnya kerawanan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai alergen, kelembaban rendah, keringat berlebihan, dan bahan iritan, faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.
Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopik (dalam keluarga maupun sendiri).

2.    Saran
     Diharapkan kepada  mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang penyakit dermatitis atopic dan pencegahannya.
     Dalam bidang keperawatan, mempelajari suatu penyakit itu penting, dan diharapkan kepada mahasiswa mampu membuat konsep teoritis suatu penyakit tersebut beserta asuhan keperawatannya.


Read more »»  

ASKEP KLIEN PADA KEGANASAN SISTEM INTEGUMEN SINDROM STEVEN JOHNSON

KONSEP TEORITIS

oleh : MA'ARIFATUN, WETA OKTARENA, ASTRIEN MELINDA

2.1. Definisi
Stevens-johnson syndrome adalah suatu kondisi mengancan jiwa yang Mempengaruhi kulit, dimana kematian sel memyebabkan epidermis terpisah dari dermis.sindrom ini diperkirakan karena reaksi hipersensivitas yang mempengarihu kulit dan membrane mukosa.Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik.
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, lendir di oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura.

2.2. Etiologi
Sindrom stevens Johnson dapat di sebabkan oleh karena :
1.    Infeksi (Biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus Herves simpleks,influenza,histoplasmosis, virus epstein-barr atau Sejenisnya ).
2.    Efek samping dari obat-obatan (alloporinol, diklopenak, floconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, sulponamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, neviravin, ibupropen,dll ).
3.    Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4.    Faktor idiofatik
     
2.3.  Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III ( reaksi komplek imun ) terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil yang kemudian melepaskan lysozim dan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV ( reaksi hipersensifitas lambat ) terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
2.5. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
•    Kelainan kulit
•    Kelainan selaput lendir di orifisium
•    Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
2.6.  Pemeriksaan Penunjang
•    Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
•    Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
•    Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.7. Penatalaksanaan
Pada  sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit  pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.


2.8  Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.

2.2. KONSEP DASAR ASKEP
A.    Pengkajian
1.    Identitas klien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi identitasnya,yang meliputi:nama,jenis kelamin,suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2.    Keluhan utama
sering menjadi alasan untuk meminta pertolongan kesehetan,di ikuti oleh mereka mengalami rasa gatal dan timbul benjolan yang berisi cairan
3.    Riwayat kesehatan sekarang(RKS)
               Demam tinggi,nyeri kepala,batuk,pilek,nyeri tnggorokan/sulit
               Menelan.      
4.    Riwayat kesehatan dahulu(RKD)
 Pernah di rawat di rumah sakit dengan keluhan utama
5.    Riwayat kesehatan keluarga(RKK)
    tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
6.Data dasar pengkajian pasien
   a.Aktivitas/istirahat
      Tanda              :penurunan keluarga,tahanan keterbatasan
                              Rentang gerak pada yang sakit.
   b.Sirkulasi
      Tanda              :pembentukan edema jaringan
   c.Eliminasi
      Tanda              :mengidentifikasikan kerusakan otot 
                              Dalam,diuresis,penurunan bising usus/tak ada.
   d.Integritas Ego
      Gejala              :Masalah tentang keluarga,pekerjaan,keuangan,
                               Kecacatan.
      Tanda              :Ansietas,menangis,ketergantungan,menyangkal,
                              Menarik diri,marah.
   e.Pernapasan
      Tanda              :ketidakmampuan menalan sekresi oral dan                                
                              Sianosis,indikasi cedera inhalasi.
   f.Makanan/cairan
      Tanda              :edema jaringan umum,anoreksia,mual/muntah
   g.Neurosensori 
      Tanda              :perubahan oriental,efek,perilaku,laserasi korneal,
                              Kerusakan,retinal,penurunan ketajaman
                              Penglihatan,ruptur membran timpani,paralisis.
   h.Keamanan
      Tanda             :kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur
                             Seperti kulit samak halus;lepuh,ulkus,nekrosis,
                             Atau jaringan parut tebal.
   i.Penyuluhan/pembelajaran
     Pertimbangan    :DRG menunjukan rerata lama di rawat: 
                              Tergantung pada beratnya dan terlibatnya sistem
                              organ.
     Rencana pemulangan :memerlukan bantuan untuk pengobatan,
                                      Aktifitas perawatan diri,tugas pemeliharaan
                                      Rumah,transportasi,keuangan,konsul,
                                      kejuruan,perubahan susuna rumah atau
                                      fasilitas tempat tinggal selain itu rehabilitas
                                      lama
   j.Pemeriksaan diagnostik
     Hitung darah lengkap :Ht awal menunjukan hemokosentrasi      
                                      sehubungan dengan perpidahan/kehilangan
                                      cairan
    SDP                           :liukositosis dapat terjadi sehubungan dengn
                                      Kehilangan sel pada sisi luka dan respon
                                      Inflamasi terhadap cidera.
    GDA        : Dasar penting untuk kecurigaan cedera    
                                     Inhalasi
    Alkalin fosfat    : Peningkatan sehubungan dengan
                                     perpindahan cairan intersitial/gangguan
                                     pompa natrium
BUN / Kreatinin    :Peninggian menunjukkan penurunan
                                    perfusi/fungsi ginjal, namun kreatinin dapat
                                    meningkat karena cedera jaringan                               
                      
B. Diagnosa Keperawatan yang muncul
1.    Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan b.d adanya bula
2.    Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan
3.    Gangguan integritas kulit b.d bula yang mudah pecah
4.    Gangguan sensori penglihatan b.d erosi dan perforasi kornea
5.    Peningkatan suhu tubuh b.d kompensasi radang
6.    Gangguan harga diri rendah b.d terjadinya erosi yg luas dan purpura


Read more »»  

ASKEP KLIEN PADA ALERGI SISTEM IMUNOLOGI LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)

KONSEP TEORITIS PENYAKIT SLE
disusun oleh : ASTRIEN MELINDA
ILMU KEPERAWATAN-STIKES TRI MANDIRI SAKTI

2.1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum diketahui, Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti paktor genetic,inpeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES (Lupus eritmatosus sistemik).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkananti bodi secara terus menerus. Anti bodi ini juga berperan dalam komplek imun sehingga mencetuskan penyakit implamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
Mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas selbe.hal ini dapat terjadi sekunder
Terhadap beberapa factor :
1.    Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2.    Hiperaktivitas sel T helper
3.    Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
    Infeksi
    Antibiotik
    Sinar ultraviolet
    Stres yang berlebihan
    Obat-obatan yang tertentu
    Hormon

Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan

3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pda SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat funsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
    Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
    Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat  sering ditemui pada SLE.
    Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
    Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
    Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina
    Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
    Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
    Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
    Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
5. WOC
(Ada di file tersendiri)

6. Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan enersi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. pengobatannya
    Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
    Serositis lupus (plueritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
    Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
    Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
    Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

    Lupus nefritis
Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
    Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
    Pneumonitis intersititialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
    Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena

7. Komplikasi
Komplikasi LES meliputi :
    Hipertensi (41%)
    Gangguan pertumbuhan (38%)
    Gangguan paru-paru kronik (31%)
    Abnormalitas mata (31%)
    Kerusakan ginjal permanen (25%)
    Gejala neuropsikiatri (22%)
    Kerusakan muskuloskeleta (9%)
    Gangguan fungsi gonad (3%)

8. Pemeriksaaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2. Kelainan Imunologis
Ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.

b. Histopatologi
•    Umum :
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
•    Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
•    Kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (70%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.

kemungkinan Diagnosa Keperawatan
1.    resiko pada pergerakan berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik
2.    hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3.    dermatitis berhubungah dengan kerusakan integritas kulit
4.    nyeri BAK berhubungan dengan gangguan eliminasi
5.    sesak disertai batuk berhubungan dengan bersihan jalan nafas
6.    kekacauan mental berhubungan dengan perubahan proses fikir
7.    resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran
8.    gangguan aliran darah berhubungan dengan penurunan curah jantung
9.    gangguan pengelihatan berhubungan dengan infeksi konjungtiva



Read more »»  

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme